Dampak
Masuknya Kolonisasi Barat di Palembang
Daerah
Palembang (sekarang provinsi Sumatera Selatan ) merupakan salah satu bekas dari
tiga keresidenan Sumatera bagian Selatan, dua keresidenan yang lain menjadi
Bengkulu dan Lampung. Luas wilayah keseluruhan ketiga keresidenan adalah
137.655 km2. Palembang yang merupakan keresidenan terbesar meliputi 84.692 km
persegi 61,8 dari total. Palembang berukuran dua setengah kali ukuran
belanda.Sebagian besar daaerah palembang di dominasi oleh sungai-sungai yang
mengalir ke pantai timur. Dataran rendah sebelah timur yang di lewati
sungai-sungai secara Lokal di sebut
iliran. Pada tahun 1905 ketika penduduk belanda telah mencapai 5,8 juta jiwa
penduduk Palembang hanya sekitar 684.000 (65,8 % total penduduk Sumatera
Selatan). Pada tahun 1930 penduduk Palembang telah melampaui 1 juta jiwa.
Penduduk dataran rendah sebelah timur lebih banyak di bandingkan dengan
penduduk dataran tinggi di daerah sempit sebelah barat sekitar Bukit Barisan. (Lindblad,
1993:235)
Perbedaan
antara area timur yang terbentang rendah dan daratan tinggi ke barat bukan
hanya geografis tetapi juga di ungkapkan dalam segi ekonomi dan orientasinya
budaya penduduk. Rakyat yang hidup di dataran rendah kebayakan berurusan dengan
perdagangan sedangkan orang-orang yang menetap di dataran tinggi adalah para
petani.
Karena
kehidupan orang-orang sebagian besar
tergantung pada Sistem sungai, masyarakat Palembang dapat dikatagorikan sebagai
masyarakat sungai (riverine society(zed,1991)). Kerajaan Maritim Sriwijaya yang
terkenal, yang tumbuh subur sejak abad ke-7 sampai abad ke-10, mempunyai pusat
daerah sungai ini. Karakteristik-karakteristik komersial masyarakat sungai
masih bertahan selama kesultanan Palembang sejak abad ke-17 sampai abad ke-18,
paling mencolok dalam hubungan-hubungan komersial antara sultan dengan para
pedagang luar negeri.
Ideologi fisik Kota Palembang pada
masa Kolonial adalah artikulasi antara tradisi dan identitas kota dagang
tradisional, walaupun sebenarnya ia sudah dalam jaringan yang bersifat
Internasional di satu pihak. Dengan Artikulasi pembangunan kota dagang
modernitas pada sisi lain. Artinya, dalam konstruksi ideologi kolonial, mereka
sadar bahwa kota ini adalah kota dagang, namun yang perlu di ubah adalah wajah
dari tradisional menjadi modernisasi baik secara fisik maupun jiwa warga
kotanya. (irwanto, 2011:55)
Pembangunan tradisional ke modern
dimulai ketika pembangunan bangunan-bangunan baru kolonial yang berbeda dengan
bangunan-bangunan lama kesultanan palembang. Bangunan-bangunan baru kolonial
tersebut adalah simbol fisik baru, atau konstruksi ideologi kota palembang yang
baru sebagai kota modern, lebih tepatnya kota dagang modern.
Usaha pemerintah kolonial di
Palembang, dalam menciptakan simbol publik pertama dapat dilihat ketika mereka
mencoba membangun bangunan-bangunan fisik yang seolah-olah sebagai sebuah usaha
untuk mengalihkan pengaruh kekuasaan dari kesultanan Palembang. (2011:56)
Pada
awal abad ke-20 bangunan politik yang mengelilingi pusat kekuasaan pribumi,
keraton kuto besark tersebut, diterapkan dengan bangunan fisik lain yang
berfungsi sebagai kekuatan politik kota. Pada saat itu juga adanya pembangunan
gemeente menjadikan kosntruksi fisik kota palembang lebih teratur. Secara umum,
kota di bagi menjadi empat bagian, pertama
zona perniagaan, yang memanjang sepanjang aliran sungai bagian ilir, kedua zona industri, memanjang sepanjang
aliran sungai musi pada bagian ulu, ketiga
zona perkantoran, yang berada di pusat kota, keempat zona pemukiman, yang terletak di bagian barat pusat kota.
(2011:57)
Berkembangnya Perekonomian Modern
Memasuki dasawarsa kedua abad ke-20,
1930-an, Palembang muncul sebagai Wigewesten, daerah untung, sebutan untuk
daerah-daerah yang dieksploitasi secara ekonomi. Realitas konstrruksi kota
dagang dengan adanya hal ini, semakin mendapat tempatnya ketika kemajuan dalam
perdagangan ekspor karet. Berharganya rubber, getah karet, membuat palembang
menjadi kota yang ramai dan banyak sekali perubahan-perubahan yang ada terutama
dalam hal bangunan. Keberadaan bangunan tersebut tidak terlepas, berbarengan
dengan penyediaan segala fasilitas kota untuk dunia perdagangan. Pasar di
Palembang mengalami peningkatan yang sangat luar biasa. (Irwanto, 2011:68)
Simbolisasi kota dagang modern
tersebut terlihat dalam pembangunan secara fisikkota. Pada 1915 sampai 1920,
pada masa Residen Brautigam dan Westenenk, di buat Vergdering, peraturan untuk
perbaikan keperluan pelayaran perdagangan kapal-kapal dan urusan transportasi
di kota Palembang. (2011:69)
Keadaan
fisik yang memprihatinkan untuk kepentingan kota dagang modern tersebut kemudian
meningkat tajam dengan mulainya geliat pembangunan transportasi kota modern
dalam bentuk kereta api. Pada dasarnya, jalan kereta api untuk memudahkan
mengangkut hasil-hasil perkebunan. Di daerah perbatasan Palembang dan Bengkulu
banyak terdapat daerah-daerah yang merupakan kantong-kantong perkebunan karet,
baik yang dikelola oleh onderneming maupun petani karet itu sendiri.
Hasil-hasil perkebunan ini kebanyakan tidak diperdagangkan di dalam negeri,
melainkan untuk pasaran luar negeri dengan pelabuhan Tanjung Priok sebagai
pintunya. Hasil bumi kalau mau dikeluarkan dengan cara melalui jalur barat, dan
Bengkulu tidak memiliki pelabuhan yangbaik, sehingga dipilihlah jalur kereta
api dari daerah Lahat sekitarnya keKertapati di Palembang yang diteruskan oleh
rel kereta api ke Tanjung Karang, Lampung, dari sana kemudian menuju pintu
utamanya, Tanjung Priok.
Namun pada akhirnya segala yang
dibangun oleh pemerintah kolonial hanya untuk kepentingan mereka sendiri.
Pemikiran pembangunan kota itu hanyalah untuk menarik minat
penanaman modal asing Pemikiran ini untuk menarik hati peminat penanaman modal
asing agar betah tinggal di Palembang, untuk meluaskan onderneming-ondernemingnya
di daerah uluan Palembang, adanya pengangkutan ini, karena di sana banyak barang-barang
hasil buminya. Kalau dilihat sebelah dalam, bisa dilihat berapa banyak
tambang-tambang batu bara seperti di Muara Enim dan sebagainya, masuk sedikit
lagi dapat dilihat tambang minyak di Plaju dan onderneming-onderneming dari
para kapitalis asing. Perusahaan-perusahaan minyak tersebut sudah dibuka oleh “Royal
Duitsc Compagnie for exploiting petroleum wells in the Neterlands Indies” mulai
1890.51 Fabrik snijverheid, yang ada di Plaju, Bagus Kuning, dan Sungai Gerong
mampu memproduksi minyak 1.137.386 ton per tahun dengan keuntungan sebesar 65
juta gulden. Tambang batu bara Bukit Asam, pada 1930 mampu mendatangkan
penghasilan sebesar 5 juta gulden dengan produksi batunya sebanyak 413.762 ton
per tahun (2011:73)
Pertambangan
batu bara Bukit Asam di Tanjung Enim (kurang lebih 220 km dari Palembang) telah
memulai produksi pada tahun 1917. Dua tahun kemudian, sesudah pertambangan
batubara di Bukit asam di beli dari “Lematang
Maatschppij” oleh Negara Belanda, kapasitas produksi menyamai pertambangan
Ombilin di Sumatera Barat, satu-satunya tambang batu bara utama yang lain di
Sumatera. Namun, pertambangan batubara yang lain di buka pada tahun 1917 di
Bengkalis, Riau, tetapi Bukit asam muncul sebagai pemasok terpenting batubara
sumatera pada dekade-dekade yang mendahului perang Dunia II.
Walaupun
dengan majunya perekonomian Kolonial ini, masyrakat Palembang tetap menjalankan
perekonomian radisional mereka, seperti di bidang Industi dan Perdagangan. Hal
ini selaras dengan pernyataan Teori dualisme J. Boeke, yang mana kedua sistem
ekonomi itu sama-sama kuat walaupun memiliki perbedaan.