Perjanjian Renville
Perjanjian Renville merupakan perjanjian
yang terjadi guna untuk menghentikan Agresi Militer Belanda I. Perjanjian ini
terjadi di sebuah kapal Amerika yang bernama Renville yang perundingannya dimulai
pada tanggal 8 Desember 1947 sampai dengan 17 Januari 1948. Perjanjian ini juga
terjadi atas desakan dari dewan keamanan PBB yang mendesak agar dihentikannya
konflik tembak menembak antara Indonesia dan Belanda. Untuk hal ini kemudian
Dewan keamanan PBB membentuk komisi yang dinamakan Komisi Tiga Negara. (KTN)
sejak agustus 1947. Komisi ini bertugas untuk mencari dan meminta pendapat dari
Indonesia dan Belanda untuk menyelesaikan sengketanya. (Soetanto, 2006:101)
Indonesia dan Belanda dipersilahkan
memilih setiap perwakilan untuk KTN ini. Pemerintah Indonesia meminta Indonesia
Australia menjadi anggota komisi, sementara Belanda meminta Belgia, dan kedua
negara KTN ini meminta Amerika Serikat. Australia sendiri diwakili oleh Richard
Kirby, Belgia oleh Paul van Zeenland dan Amerika Serikat oleh Dr. Frank Graham.
(Poesponegoro, 2008:220)
Perjanjian Renville ini terjadi di
atas kapal Amerika yang berlabuh di Teluk Jakarta. Tempat ini dipilih oleh
Indonesia dan Belanda karena dianggap sebagai tempat yang netral. Delegasi yang
dikirim Indonesia untuk perjanjian ini adalah, Mr. Amir Sjarifuddin, Ai
Sastroamidjojo, dr Tjoa Siek len, Sutan Sjahrir, H.A. Salim, Mr. Nasrun, dan
dua anggota cadangan yaitu Ir. Djuanda dan Setiadjit yang disertakan dengan 32
penasihat. Sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdul Kadir
Widjojoatmojo, Mr. H.A.L. van Vredenburgh, Dr. P.J. Koets, Mr. Dr. Ch. R.
Soumokil, Tengku Zulkarnaen, Mr. Adjie Pangeran Kartanegara, Mr. Masjarie, Thio
Tjiong, Mr. A.H. Ophuyzen, dan A. Th. Baud. (2008:221)
Dengan melalui proses yang sangat
panjang akhirnya perjanjian pun ditetapkan pada tanggal 17 Januari 1948. Adapun
isi dari perjanjian itu adalah:
1. Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia
samapi kedaulatan Indonesia diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat yang
segera terbentuk.
2. Republik Indonesia Serikat mempunyai kedudukan yang
sejajar dengan negara Belanda dalam uni Indonesia-Belanda.
3. Republik Indonesia akan menjadi negara bagian dari RIS
4. Sebelum RIS terbentuk, Belanda dapat menyerahkan
sebagain kekuasaannya kepada pemerintahan federal sementara.
5. Akan diadakan plebisit untuk menentukan kedudukan
politik rakyat Indonesia dalam RIS dan Pemilu untuk membentuk dewan
konstituante RIS. (Pakan, 2002:262)
Dari kelima butir isi peresetujuan Renvile, maka
sangat jelas, bahwa perjanjian Renville itu jauh lebih buruk bagi Republik
Indonesia dibandingkan dengan perjanjian Linggarjati yang sudah buruk dan
melecahkan kemerdekaan Indonesia.
Dampak politik Perjanjian Renville
Setelah kabinet amir Sjarifuddin menerima
persetujuan Renville, kembali parta-partai politik menentangnya. Masyumi yang
merupakan pendukung utama kabinet, menaarik kembali menteri-menterinya.
Tindakan ini diambil karena masyumi berpendapat bahwa Amir Sjarifuddin menerima
begitu saja persetujuan tersebut atas dasar 12 prinsip politik dan 6 tambahan
dari KTN. Tindakan Masyumi ini diikuti oleh PNI. Sebagai hasilsidang Dewan
partai tanggal 18 januari 1948, PNI menuntut supaya kabinet Amir mengembalikan
mandatnya kepada Presiden. PNI menolak persetujuan Renville karena persetujuan
itu tidak menjamin dengan tegas kelanjutan dan kedudukan Republik. Kabinet Amir
yang hanya didukung oleh Syap Kiri tidak berhasil dipertahankan, dan pada
tanggal 29 Januari 1948 Amir Sjarifuddin menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden. (Pakan, 2002:263)
Setela
kabinet Amir Sjarifuddin jatuh, presiden menunjuk wakil Presiden Moh. Hatta
untuk membentuk kabinet baru. Hatta berusaha membentuk kabinet dengan
mengikutsetakan semua partai dalam kabinet untuk menggalang persatuan Nasional.
Pada sayap kiri ditawarkannya tiga kursi tanpa portofolio. Akan tetapi sayap
kiri menuntut empat kursi, termasuk jabatan menteri pertahanan. Namun hatta
tidak bisa mengabulkannya sebab akan ditentang oleh masyumi. Sehingga pada
akhirnya pada tanggal 31 Januari 1948 kabinet Hatta diumumkan dengan Hatta
sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan. (Poeponegoro, 2008:232)
Amir
Sjarifuddin yang tersingkir dari pemerintahan melancarkan oposisi terhadap
kabinet Hatta. Ia membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang merupakan
gabungan partai dan organisasi kiri, yaitu partai Sosialis (PS), Partai Komunis
Indonesia (PKI), Pemuda Sosialis Indonesia (Persindo), Serikat Organisasi Buruh
Seluruh Indonesia (SOBSI), dan Barisan Tani Indonesia (BTI). FDR menuntut
kabinet Hatta dibubarkan dan diganti dengan Kabinet Parlementer. Mereka juga
menuntut persetujuan Renville yang di arsiteki oleh Amir Sjarifuddin untuk
dibatalkan, perundingan dengan Belanda dihentikan, dan seluruh milik asing di
nasionalisasikan tanpa ganti rugi. (2008:233)
0 komentar:
Posting Komentar